Mediaupdate.id – Mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi kembali menghadapi proses hukum setelah jaksa KPK mendakwanya melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan nilai fantastis, mencapai Rp 308 miliar. Dakwaan itu dibacakan dalam sidang perdana di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (18/11). Jaksa memaparkan bahwa praktik pencucian uang tersebut dilakukan Nurhadi melalui penempatan uang di sejumlah rekening hingga pembelian aset berskala besar. Kasus ini kembali menyeret Nurhadi ke kursi terdakwa setelah sebelumnya ia sempat bebas dari Lapas Sukamiskin usai menjalani vonis 6 tahun penjara dalam kasus suap dan gratifikasi penanganan perkara di MA. Namun, KPK menangkapnya lagi pada Juni 2025 terkait dugaan TPPU yang telah lama masuk radar penyidik.
Dalam surat dakwaan, jaksa mengungkap bahwa Nurhadi menerima gratifikasi senilai Rp 137,1 miliar dari sejumlah pihak yang berperkara di lingkungan peradilan. Uang itu diterima secara bertahap sejak 2013 hingga 2019, baik ketika Nurhadi masih menjabat Sekretaris MA maupun setelah tidak lagi menjabat. Untuk memuluskan aliran dana, Nurhadi menggunakan rekening milik menantunya, Rezky Herbiyono, serta beberapa orang kepercayaan lainnya. Jaksa menekankan bahwa penerimaan tersebut jelas bertentangan dengan kewajiban pejabat negara, karena seluruh dana gratifikasi seharusnya dilaporkan kepada KPK dalam waktu 30 hari. Namun, tidak satu pun dari penerimaan itu dilaporkan oleh Nurhadi.
Jaksa kemudian merinci sumber-sumber pemberian gratifikasi tersebut, yang datang dari berbagai pihak antara lain Hindria Kusuma, Bambang Harto Tjahjono, PT Sukses Abadi Bersama, Dion Hardie, PT Sukses Expamet, PT Freight Express Indonesia, dan sejumlah pihak lainnya. Aliran dana mengalir melalui rekening Rezky serta beberapa nama yang ditunjuk, seperti Calvin Pratama, Soepriyo Waskita Adi, dan Yoga Dwi Hartiar. Cara ini dinilai jaksa sebagai upaya penyamaran agar aliran uang tidak terdeteksi sebagai pendapatan pribadi Nurhadi.
Tidak berhenti di gratifikasi, jaksa juga mendakwa Nurhadi melakukan pencucian uang yang nilainya mencapai Rp 307,2 miliar dan USD 50 ribu. Uang tersebut ditempatkan ke rekening sejumlah pihak, termasuk perusahaan yang terafiliasi dengan keluarga Nurhadi seperti CV Herbiyono Indo Perkasa dan PT Herbiyono Energi Industri. Dana itu kemudian digunakan untuk membeli berbagai aset bernilai tinggi, mulai dari perkebunan sawit di Sumatera Utara, properti mewah di Jakarta dan Bogor, hingga puluhan kendaraan bermotor, termasuk mobil premium Mercedes-Benz dan Toyota Vellfire. Jaksa menilai besarnya nilai transaksi itu jelas tidak sebanding dengan penghasilan resmi Nurhadi sebagai pejabat negara.
Dalam dakwaan, jaksa merinci pembelian empat kompleks perkebunan sawit seluas lebih dari 1.700 hektare di berbagai daerah di Sumatera Utara. Selain itu, Nurhadi diduga membelanjakan uang hasil TPPU untuk membeli tiga unit apartemen di District 8 SCBD, satu rumah mewah di kawasan Patal Senayan senilai Rp 52,5 miliar, satu unit rumah di Sidoarjo, hingga pembangunan vila di kawasan Puncak, Bogor. Dari sisi aset bergerak, jaksa mencatat pembelian 12 unit mobil dan alat berat, termasuk Mercedes-Benz Sprinter, Mitsubishi Fuso, Toyota Fortuner, Mitsubishi Pajero, hingga satu unit excavator Hitachi.
Jaksa juga menyoroti perbedaan mencolok antara harta yang dilaporkan Nurhadi melalui Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dan nilai harta yang diyakini berasal dari gratifikasi serta pencucian uang. Dalam kurun masa jabatannya sebagai Sekretaris MA, Nurhadi hanya sekali melaporkan LHKPN pada tahun 2012 dengan nilai Rp 25,7 miliar. Padahal, dakwaan menyebutkan ia menerima lebih dari Rp 137 miliar dalam bentuk gratifikasi. Jaksa menegaskan bahwa profil kekayaan Nurhadi tidak sejalan dengan penghasilan resminya, sehingga asal-usul dana yang digunakan untuk membeli aset diduga kuat bersumber dari penerimaan tidak sah.
Atas seluruh perbuatannya, Nurhadi didakwa melanggar Pasal 12B jo Pasal 18 UU Tipikor serta Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU. Proses persidangan akan berlanjut dengan pemeriksaan saksi-saksi yang diyakini akan memperdalam konstruksi perkara ini. Kasus ini kembali menjadi sorotan publik karena melibatkan pejabat tinggi lembaga peradilan yang sebelumnya sempat divonis bersalah namun kembali kembali terseret dalam kasus lanjutan dengan nilai kerugian fantastis.






